Sebuah Intermezo
Atau sekedar kepikiran mengenai sebuah rangkaian kehidupan kita yang telah kita lalui, sedang maupun akan kita lalui?
Ada begitu banyak orang, begitu banyak keinginan, begitu banyak mimpi dan angan. Namun seperti prinsip ekonomi: Kebutuhan (baca; keinginan) manusia tak terbatas jumlahnya sementara alat pemuas kebutuhan tersebut jumlahnya terbatas.
Maka apa yang akan kita lakukan? Mudah saja: ’buat prioritas.’
Seperti hukum ekonomi, sebuah prioritas adalah jalan keluar dari keterbatasan. Sedang membuat prioritas berarti haruslah tahu dahulu apa yang keinginan, tujuan hidup kita. Singkatnya apa misi dan visi hidup kita?
Apakah kita akan membiarkannya mengalir saja? Lahir, tumbuh berkembang, berkembang biak (maaf menggunakan istilah seperti binatang, tapi bukankah manusia adalah binatang yang berpikir?)
Orang hidup harus punya misi, seperti Islam menjelaskan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Lantas mau jadi khalifah seperti apakah kita? Idealisme macam apa yang akan kita goreskan dalam hidup kita kelak?
Aku kepikiran tentang hal itu. Apalagi setelah nonton dan membaca kembali Laskar Pelangi. Mimpi.
Di dunia ini banyak orang yang hebat. Bukan karena ia kaya atau jenius, tapi karena kontribusinya terhadap manusia lainnya. Bukankah kata Nabi SAW sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain?
Sebuah hadist yang terdengar sederhana, namun begitu dalam. Dan begitulah seharusnya seorang yang berilmu, yaitu mendarmakan ilmunya untuk kepentingan manusia lain. Sebagai seorang terpelajar yang kalau bisa dibilang adalah golongan orang-orang yang beruntung, sebab tidak seberapa anak-anak di Indonesia ini mampu menikmati pendidikan sampai dengan bangku kuliah. Bukan karena bodoh, namun karena berbagai hal seperti keterbatasan ekonomi yang tidak memungkinkannnya mneruskan pendidikan.
Seperti ayat-ayat di Surah Ar Rahman yang berulang-ulang: ’Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?’
Apa yang telah kita nikmati benar-benar sebuah nikmat Allah SWT, karena kita dilahirkan di keluarga orang-orang—setidaknya—kelas ekonomi menengah (tidak sama dengan kelas menengah). Maka seperti kata Ikal ketika ia melihat kenayataan pahit ketika Lintang si jenius terpaksa putus sekolah karena harus menanggung nasib sebagai anak tertua dari sebuah keluarga nelayan miskin. Siapapun kita yang berakal pasti setuju akan kemarahan Ikal terhadap mereka (anak-anak yang tinggal di Gedong) yang kerjanya hanya berpesta pora saja, menyia-nyiakan kesempatan dan sumber daya yang dimiliki serta bersikap manja bahkan cenderung nakal, sementara di luar sana banyak anak-anak dari keluarga miskin yang harus berjuang keras untuk mendapatkan biaya agar bisa melanjutkan sekolah.
Syair lagu ’Darah Juang’ seolah memberikan sebuah spirit,
Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samuderanya kaya raya
Tanah kami subur Tuhan
Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan rakyat
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berbakti
Padamu kami mengabdi
Membaca novel ’Jejak Langkah’nya Pram memberikan gambaran bagaimana sebuah cita-cita negeri bernama ’Indonesia’ ini dibangun.
Konon, terbentuknya nasionalisme Indonesia yang lahir dari gagasan para dokter STOVIA berlandaskan atas: negeri ini sedang sakit, maka ia harus disembuhkan. Penyakit itu bernama kolonialisme dan obat peyembuhnya tak lain adalah kebangkitan para pemudanya untuk membebaskan negeri ini dari belenggu kolonialisme. Seorang ’Pensiunan Dokter Jawa’—demikian Pram menyebut dr. Wahidin Sudirohusodo—pun rela menyisihkan separuh gajinya selama mengabdi sebagai dorter pemerintah di Yogya demi sebuah perjalanannya keliling negeri ini untuk mengobarkan semangat para pemuda terpelajar pribumi agar segera bangun dari ketertindasan mereka.
Sekali lagi, ada begitu banyak orang-orang hebat—dari mereka yang kita sebuat sebagai ’pahlawan’ hingga mereka yang mewartakan kepada kita tentang mimpi, harapan dan cita-cita melalui buah karya mereka. Di hadapan kitapun terbentang sebuah pekerjaan besar—tak berbeda dengan apa yang dahulu di hadapi para ’founding fathers’ kita. Kini kita meneruskan pekerjaan mereka. Orang bilang, pekerjaan itu adalah mengisi kemerdekaan.
Bicara memang mudah—semudah para politikus atau pengamat atau juga para caleg dan capres berkoar mengenai ide-ide perbaikan negeri ini—tapi kenyataannya jelas, tak semudah membalik telapak tangan. Maka yang bisa kita lakukan adalah mengerjakan apa yang bisa kita kerjakan. Tak perlulah bermimpi mengubah dunia kalau kita tak bisa mengubah diri sendiri.
Seperti dalam ’Pay It Forward’ segalanya harus dimulai dari diri sendiri jika mau mengubah dunia. Pesannya adalah, satu kebaikan yang membuahkan kebaikan-kebaikan lain.