Dosa-Dosa Modernisme
Pada dasawarsa terakhir ini, isu mengenai kerusakan lingkungan telah benar-benar menyedot perhatian penduduk bumi. Bumi—ibarat makhluk hidup—saat ini telah semakin renta dan mengalami kerusakan yang—kita harus mengakui—disebabkan oleh manusia. Ya, manusia! Keserakahan telah mendorong manusia membabat hutan untuk keperluan industri, perkebunan; mengeruk gunung untuk diambil barang-barang tambang yang ada di dalam perut bumi; merusak habitat di laut secara brutal. Banyak dari para parusak tersebut melakukan kerusakan sengan dalih kemanusiaan, mulai dari pembukaan lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan hidup manusia, kemudahan kehidupan manusia dan masih ada seribu satu alasan untuk merusak alam/ lingkungan. Sebagai hasilnya adalah banyaknya bencana yang kemudian menimpa manusia, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga perubahan cuaca dan iklim yang sulit diprediksi.
Semakin hari kerusakan lingkungan semakin bertambah parah. Perubahan pola hidup manusia dan perkembangan teknologi dan industri menjadi salah satu penyebabnya. Sebagai contoh yang sangat jelas misalnya, sepuluh tahun yang lalu, jumlah kendaraan bermotor di jalan (baik mobil maupun sepeda motor) tak sebanyak sekarang ini. Pertambahan produksi dan konsumsi kendaraan bermotor ini turut memberikan “andil” bagi pencemaran lingkungan (polusi udara misalnya). Di satu sisi, kemajuan teknologi (dalam kasus ini keberadaan kendaraan bermotor) tentu saja memberikan kemudahan mobilitas bagi manusia, namun dampak negatifnyapun tak terhindarkan. Tentu, bukan berarti dampak buruk dari kemajuan sains dan teknologi (baca: modernisasi) ini tak bisa diatasi. Kalau saja manusia mau berpikir secara proporsional antara nilai positif dan negatif—tidak hanya memikirkan profit—dari modernisasi, tentu ancaman kerusakan alam dapat teratasi.
Melacak Jejak Keserakahan
Apa yang sekarang ini kita sebut sebagai dunia modern adalah sebuah proses panjang yang dimulai sejak runtuhnya Abad Pertengahan di Eropa dan dibukanya babak baru sejarah Eropa: Renaisans. Peristiwa ini ditandai dengan berkembangnya kapitalisme, humanisme, serta semakin dijunjungnya rasionalisme (Suseno dalam Adian, 2002: 69). Rene Descartes, seorang filsuf Perancis merupakan juru bicara keruntuhan Abad Pertengahan. Melalui adagiumnya yang masyur: Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada). Ia mempertanyakan dan menyangsikan makna dunia objektif tradisional, hingga sampailah ia pada keyakinan yang tak tergoyahkan dan bersifat pasti, yaitu de pensa done je suis (aku berpikir, maka aku ada). Apa yang ditemukannya pada taraf epistemologis adalah perasaan mutlak subjek dalam membentuk realitas, maka dalam sejarah epistemologi, Descartes telah menggerakkan pendulum dari kutub objek ke subjek. Subjeklah yang membangun dan menciptakan realitas yang diketahui itu sehingga ada (Hardiman, 1991). Descartes melalui cogito ergo sum ini telah mengubah cara berpikir masyarakat Eropa Abad Pertengahan. Semangat Renaisans terlihat jelas sekali pada pemikiran Descartes, yang melalui wawasan humanismenya, menjadikan manusia—dengan segala kamampuan rasionalnya—sebagai aku (subjek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia. Wawasan humanisme Cartesian, dalam hal ini, bersifat sangat mekanistis—dalam pengertian rasionalitas dijadikan sebagai ukuran tunggal kebenaran, dan mesin dijadikan sebagai paradigma—dalam mewujudkan mimpi-mimpi utopis manusia modern akan kekuasaan (Piliang, 2003: 73).
Keterbebasan manusia dari belenggu teosentrisme ini melahirkan suatu pencerahan yang dimulai dengan pandangan bahwa manusia adalah makhluk otonom, bebas, rasional. Kesubjekan manusia menjadikan dirinya sebagai penentu arah sejarahnya sendiri—self determination dan self affirmation. Dengan demikian, ia akan memutuskan hubungannya dengan Tuhan dan mengubur unsur-unsur matafisik seperti dosa, neraka, surga, dan konsep-konsep lain yang tak masuk akal. Setelah segala hal yang berhubungan dengan nilai-nilai mitos dan spirit ketuhanan dibuang, maka ia akan menentukan sendiri kriteria-kriteria dan nilai-nilai untuk perkembangan dirinya sendiri sebagai subjek yang merdeka, otonom. Keterputusan dari nilai-nilai dan spirit yang lama telah memungkinkan manusia untuk hidup di dunia baru, dunia modern. Sebuah dunia yang didefinisikan oleh Hegel sebagai dunia dimana ide universal tentang emansipasi progresif, rasio dan kebebasan mendapatkan tempat istimewanya. Bagi Hegel, manusia sebagai subjek harus menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya. Manusia modern tidak memerlukan landasan nilai, kebebasan dan legitimasi kebenaran selain yang berasal dari dalam dan untuk dirinya sendiri. Landasan tersebut adalah akal budi. Manusia sebagai subjek akan selalu “bergerak ke depan”, dia akan selalu mengacu pada ‘kebenaran ideal,’ sementara kebenaran ideal itu sendiri tetap dalam proses “becoming.” Proses bergerak ke dapan menuju kebenaran ideal inilah yang disebut “kemajuan,” progresifitas. Manusia modern selalu ingin jadi yang paling prograsif, paling di depan, paling di atas. Secara konseptual, ini adalah hal yang ideal dan luhur, tapi sesampainya di lapangan yang acapkali terjadi malah penindasan sesama manusia dan pemerkosaan alam .(Noris, 2003: 8). Konsep Hegel ini semakin menemukan bentuk ketika August Comte menjadikan teori evolusi Hegel ini menjadi ilmu sosial posivistik. Secara singkat, teori evolusi mengasumsikan bahwa masyarakat berubah secara linier atau seperti garis lurus, dari masyarakat primitif ke masyarakat maju melalui proses yang panjang (evolusi). Menurut teori ini, yang disebut sebagai masyarajat maju adalah dunia modern yang merupakan bentuk tujuan suatu masyarakat yang bernilai ‘baik’ dan ‘sempurna.’ Atas dsar ini pulalah, masyarakat sederhana, atau pandangan mengenai konservatisme traadisionalisme adalah masalah. Teori ini memberikan pengaruh besar bagi para konseptor teori modernisasi seperti Rostow, Mc Clelland, serta Inkeles di kemudian hari. Hanya saja, jika teori evolusi menganut paham bahwa perubahan masyarakat terjadi dalam waktu lama, bagi penganut teori modernisasi dan pembangunan proses perubahan tersebut dipercepat dengan pendekatan revolusi melalui pelbagai intervensi. Bagi Comte, intervensi manusia sangat menentukan perkembangan fase-fase evolusi tersebut. Pandangan ini yang menjadi pijakan bahwa proses modernisasi bisa direkayasa. Pengetahuan ilmiah dapat direncanakan, yang oleh pengikut mereka sering disebut dengan rekayasa sosial (social-engineering), suatu proses yang oleh Herbert Spencer disebut sebagai ‘Social Darwinisme.’ Aplikasi teori ini sangat mempengaruhi pemikiran modern tentang pembangunan dan bahkan sendi dasar dari paham globalisasi dikemudian hari, bahwa masyarakat bergerak dari masyarakat miskin non-industri sebagai masyarakat primitif berevolusi ke masyarakat industri yang lebih kompleks dan berbudaya (Fakih, 2003: 49).
Penekanan akan kesubjekan manusia yang dengan demikian sebagai penulis atas sejarahnya sendiri menjadikan manusia sebagai ‘penguasa.’ Sebagai penguasa, jelas ia memiliki legitimasi, termasuk melakukan jugment atas apa yang benar dan salah, baik dan buruk sesuai dengan kerja rasional otak. Hal ini bisa kita lihat dari hasil dari Renaisans sendiri. Revolusi Industri turut menciptakan kapitalisme Barat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi—dalam kasus ini Revolusi Industri di negera-negara Barat—memungkinkan produksi secara besar-basaran barang-barang kebutuhan manusia, memberikan kemudahan mobilitas, namun juga mendorong manusia menjadi rakus. Sejarah telah menunjukkan bahwa kelahiran kolonialisme di negara-negara dunia ketiga tak bisa dilepaskan dari Revolusi Industri di negara-negara Eropa. Dengan demikian, tak salah kiranya dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dijadikan sarana dalam mewujudkan mimpi-mimpi utopis manusia modern akan kekuasaan. Bahkan ketika periode kolonialisme berakhir, dan digantikan oleh kolonialisme bentuk baru—melalui penyebaran paham kapitalisme dsn prmbsngunsanisme, penanaman modal asing dengan dalih alih teknologi, dan lain-lain—namun penindasan, baik terhadap masyarakat dunia ketiga maupun alam terus berlanjut, bahkan semakin masif.
Antroposentrisme yang telah mengubur nilai-nilai metafisik dan menggantinya dengan hal-hal yang mewujud dan rasional semakin menemukan bentuknya dalam konsep kapitalisme Barat yang dilahirkan dari rahim humanisme. Nilai materi semakin dijunjung tinggi dan kebebasan (liberalisme) menjadi jalan untuk meraih materi (baca: profit). Ya, liberalisme—melalui prinsip self determination, memberikan legitimasi bagi manusia untuk mengutamakan ego. Ketika ego telah bicara, maka yang kemudian bermain hanyalah kepentingan. Kepentingan untuk berkuasa. Mies (dalam Mies, 2005:260) menafsirka konsepsi Hegel tentang self (diri sendiri) hanya dapat memperoleh kesadaran akan dirinya sendiri jika berhadapan dengan kesadaran, sebagai objek eksternal. Pada saat yang bersamaan objek itu juga menjadi objek dari keinginan. Ego (self conciousness) mencoba untuk “melebur” dengan yang lainnya, yaitu objek, lewat penghancuran objek itu. Pemuasan atas keinginan berakibat pada kehancuran kebebasan ‘orang lain,’ ego menyadari mempunyai kesadaran atas dirinya sendiri sebagai makhluk di dunia.
Ketika Ego Berbicara
Tak ada yang menyangkal bahwa modernisasi telah banyak memberikan banyak hal bagi manusia. Kemajuan melahirkan kesejahteraan, rasio melahirkan sains dan teknologi dan kebebasan melahirkan demokrasi. Tapi ”cucu” dari ketiga hal tadilah yang negatif, yaitu eksploitasi, sainstasi dan imperialisme politik dan budaya (Norris, 2003: 8). Eksploitasi yang merupakan dampak negatif dari modernisme tidak saja menyelegalkan praktik-praktik perbudakan—baik melalui kolonialisme maupun praktik kapitalisme di nagara-negara industri di Barat, tapi juga berujung pada terjadinya krisis ekologi. Sementara saintasipun tak kurang telah memberikan dampak buruk. Seorang Einstein sendiri pernah menyesal dan sangat prihatin ketika hasil penemuannya ternyata digunakan untuk tujuan buruk—pembuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Ya, barangkali dua Perang Dunia yang pernah terjadi di masa lalu menjadi contoh nyata tentang efek negatif dari modernisasi.Sampai hari inipun dampak buruknya masih dapat kita rasakan—tapi entah apakah juga kita sesali(?). Berakhirnya Perang Dunia Kedua misalnya, telah turut menghapus kolonialisme dan memunculkan negara-negara baru. Namun di sisi lain, banyak negara-negara baru yang telah lepas dari belenggu kolonialisme tersebut pada akhirnya juga masuk ke parangkap kapitalisme Barat, sebuah model baru penjajahan yang legal melalui konsumsi ide-ide kapitalisme-liberalisme melalui konsep-konsep ideal pembangunanisme.
Peter Berger telah mendeskripsikan pembangunan sebagai ‘penyebaran munculnya ketunawismaan’ (Berger dalam Mies, 119). Lahirnya ketunawismaan terjadi baik melalui perusakan ekologis terhadap ‘rumah’ maupun penggusuran rakyat baik secara kultural dna spiritual dari rumah mereka. Kata ‘ekologi’ berasal dri oikos, rumah tangga—dan perusakan ekologis dalam intinya adalah perusakan bhum sebagai rumah tangga spiritual dan ekologis. Dengan mengkategorikan Cartesian pada wilayah dalam pergantian bagi kategori yang disucikan, maka memungkinkan bagi teknokrat pembangunan dan agen pembangunan untuk memperluas sepak terjang mereka ke dalam manajemen ‘perpindahan paksa dalam proyek pembangunan’ (Mies, 2005: 119). Dunia modern yang oleh penganut teoir evolusi dimaknai sebagai membuang tradisi sebab menurut mereka ‘masyarakat tradisional’ adalah bentuk yang ‘belum sempurna’—seperti halnya dalam Teori Evolusi Darwin—dan akan terus mengalami perubahan ketika ia telah memasuki dunia modern. Imperalisme budaya semacam ini yang telah malanda negar-negara Dunia Ketiga telah menyebabkan masyarakat tradisional mengalami ketercerabutan. Masyarakat tradisional terancam kehilangan nilai-nilai spiritual mereka. Pengaruh kapitalisme dan liberalisme telah malahirkan konsep privatisasi dan komoditi produksi demi keuntungan semata. Konsep yang mendewakan materi ini tentu saja telah mengubah konsep alam yang bagi masyarakat tradisional memiliki nilai spiritual yang disakralkan, hanya dimaknai sebagai komoditi—berharga jika memberikan provit. Konsep semacam inilah yang kemudian berujung pada terjadinya ekploitasi alam dan kerusakan ekologis—sebab hilangnya penghargaan manusia terhadap alam, disebabkan jugment antroposentris modern.
Ide-ide kapitalisme dan liberalime yang sangat egosentris ini di jabarkan oleh John Locke melalui konsep tentang property. Risalah Locke mengenai property secara efektif membenarkan terjadinya proses pencurian dan perampokan yang juga terjadi semasa akhir pergolakan di Eropa. Locke secara jelas mengartikulasikan ‘kebebasan ala kapitalisme’ adalah kebebasan untuk mencuri; ia menyertakan bahwa property dihasilakan dengan merubah sumber-sumber yang berasal dari alam lewat kerja. Tetapi ‘kerja’ ini bukanlah kerja secara fisik, tetapi dalam makna ‘kerja spiritual’ sebagaimana termanifestasikan dalam kontrol kapital. Menurut Locke, hanya kapital yang dapat menambah nilai terhadap penguasaan alam, dan oleh karena itu hanya mereka yang memiliki kapital sendirilah yang memiliki hak untuk menguasai sumber daya alam; sebuah hak yang menggenatikan hak milik orang lain secara umum hanya dengan mengajukan klaim. Maka kemudian kapital didefinisikan sebagai sumber kebebasan, tetapi kebebasan ini berdasarkan terhadap penolakan terhadap hak atas tanah, hutan, sungai dan biodiversity yang oleh kapital diklaim sebagai milik mereka sendiri. Karena ‘property’ yang pada umumnya dicapai lewat privatisasi disamakan dengan kebebasan, maka rakyat pada umumnya meletakkan klaim ini sebagai perasaan tercerabut dari kebebasan kepemilikan kapital. Maka petani dan masyarakat adat yang menuntut pengembalian hak dan akses mereka terhadap alam dianggap sebagai pencuri (Shiva, 2005: 281-282). Inilah yang terjadi ketika ego yang jahat dilegalkan (oleh negara) melalui pembangunanisme. Dalam kacamata kapitalis, hal ini adalah sesuatu yang biasa, sebab dunia ini adalah arena pertarungan, dan pemenanglah yang akan memegang kendali, memiliki kekuasaan, legitimasi dan menjadikan penindasan sebagai ‘sesuatu hal yang alami.’ Sekali lagi, ketika ego telah bersatu dengan subjektivitas manusia, maka ia akan menjadi kekuatan yang destruktif.
Mengalahkan ‘ego’ dan ‘antroposentrisme’
Kerusakan ekologis harus diakui merupakan ‘hasil’ dari mimpi-mimpi utopis masa depan tentang dunia modern. Hanya saja, sangat ironis sebab konsep subjektivitas manusia menyatakan bahwa manusia dapat menentukan arah sejarahnya sendiri, namun dunia modern yang tercipta saat ini justru sebuah dunia yang berada diluar kontrol manusia.
Pada mula dunia modern diciptakan, ia menjadi mahakarya yang sangat mengagumkan dengan berbagai macam penemuan yang dihasilkan. Tentu saja kitapun tak akan menutup mata atas segala pencapaian positif modernisasi. Tapi kitapun tak bisa mengelak dari hal-hal negatif yang ditimbulkannya. Eksploitasi, tentu inilah yang paling kita rasakan saat ini. Sebagai hasilnya adalah kerusakan ekologis.
Keserakahan manusia telah menghasilkan banyaknya bencana. Semuanya dipicu oleh kerusakan ekologis yang terjadi karena antroposentrisme dan egosentrisme. Wacana global warming seharusnya menyadarkan kita untuk tidak berlaku semena-mena terhadap alam/ lingkungan. Kuncinya adalah mengubah cara berpikir kita selama ini yang antroposentris dan egois. Antroposentrisme telah membuat manusia merasa sebagai penguasa karena memiliki legitimasi untuk melakukan klaim, termasuk klaim tentang bagaiman seharusnya memperlakukan alam/lingkungan. Sementara egosentrisme telah membuat si subjek (yakni manusia) menghancurkan objek. Sehingga yang ia tahu dan pedulikan hanyalah kepentingan dan bila kepentingan itu berpadu dengan materialisme, maka ia akan diterjemahkan menjadi keuntungan (profit). Jadi, jika kita akan mengatasi kerusakan lingkungan, pertanyaan yang harus kita jawab adalah: mampukah kita mengalahkan ego kita?
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral. 2002. Percik Pemikiran Kontemporer. Jalasutra: Yogyakarta
Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia: Jakarta
Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Pustaka Pelajar dan Insist Press: Yogyakarta
Piliang, Yasraf Amir. 2003.Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Tentang Matinya Makna. Jalasutra: Yogyakarta
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Ar Ruzz: Yogyakarta
Shiva, Vandana, dkk. 2005. Ecofeminism Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkunagan. IRE Press: Yogyakarta
BASIS, Maret 1991