Selasa, 26 Februari 2008

Dosa-Dosa Modernisme

Pada dasawarsa terakhir ini, isu mengenai kerusakan lingkungan telah benar-benar menyedot perhatian penduduk bumi. Bumi—ibarat makhluk hidup—saat ini telah semakin renta dan mengalami kerusakan yang—kita harus mengakui—disebabkan oleh manusia. Ya, manusia! Keserakahan telah mendorong manusia membabat hutan untuk keperluan industri, perkebunan; mengeruk gunung untuk diambil barang-barang tambang yang ada di dalam perut bumi; merusak habitat di laut secara brutal. Banyak dari para parusak tersebut melakukan kerusakan sengan dalih kemanusiaan, mulai dari pembukaan lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan hidup manusia, kemudahan kehidupan manusia dan masih ada seribu satu alasan untuk merusak alam/ lingkungan. Sebagai hasilnya adalah banyaknya bencana yang kemudian menimpa manusia, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga perubahan cuaca dan iklim yang sulit diprediksi.

Semakin hari kerusakan lingkungan semakin bertambah parah. Perubahan pola hidup manusia dan perkembangan teknologi dan industri menjadi salah satu penyebabnya. Sebagai contoh yang sangat jelas misalnya, sepuluh tahun yang lalu, jumlah kendaraan bermotor di jalan (baik mobil maupun sepeda motor) tak sebanyak sekarang ini. Pertambahan produksi dan konsumsi kendaraan bermotor ini turut memberikan “andil” bagi pencemaran lingkungan (polusi udara misalnya). Di satu sisi, kemajuan teknologi (dalam kasus ini keberadaan kendaraan bermotor) tentu saja memberikan kemudahan mobilitas bagi manusia, namun dampak negatifnyapun tak terhindarkan. Tentu, bukan berarti dampak buruk dari kemajuan sains dan teknologi (baca: modernisasi) ini tak bisa diatasi. Kalau saja manusia mau berpikir secara proporsional antara nilai positif dan negatif—tidak hanya memikirkan profit—dari modernisasi, tentu ancaman kerusakan alam dapat teratasi.

Melacak Jejak Keserakahan

Apa yang sekarang ini kita sebut sebagai dunia modern adalah sebuah proses panjang yang dimulai sejak runtuhnya Abad Pertengahan di Eropa dan dibukanya babak baru sejarah Eropa: Renaisans. Peristiwa ini ditandai dengan berkembangnya kapitalisme, humanisme, serta semakin dijunjungnya rasionalisme (Suseno dalam Adian, 2002: 69). Rene Descartes, seorang filsuf Perancis merupakan juru bicara keruntuhan Abad Pertengahan. Melalui adagiumnya yang masyur: Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada). Ia mempertanyakan dan menyangsikan makna dunia objektif tradisional, hingga sampailah ia pada keyakinan yang tak tergoyahkan dan bersifat pasti, yaitu de pensa done je suis (aku berpikir, maka aku ada). Apa yang ditemukannya pada taraf epistemologis adalah perasaan mutlak subjek dalam membentuk realitas, maka dalam sejarah epistemologi, Descartes telah menggerakkan pendulum dari kutub objek ke subjek. Subjeklah yang membangun dan menciptakan realitas yang diketahui itu sehingga ada (Hardiman, 1991). Descartes melalui cogito ergo sum ini telah mengubah cara berpikir masyarakat Eropa Abad Pertengahan. Semangat Renaisans terlihat jelas sekali pada pemikiran Descartes, yang melalui wawasan humanismenya, menjadikan manusia—dengan segala kamampuan rasionalnya—sebagai aku (subjek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia. Wawasan humanisme Cartesian, dalam hal ini, bersifat sangat mekanistis—dalam pengertian rasionalitas dijadikan sebagai ukuran tunggal kebenaran, dan mesin dijadikan sebagai paradigma—dalam mewujudkan mimpi-mimpi utopis manusia modern akan kekuasaan (Piliang, 2003: 73).

Keterbebasan manusia dari belenggu teosentrisme ini melahirkan suatu pencerahan yang dimulai dengan pandangan bahwa manusia adalah makhluk otonom, bebas, rasional. Kesubjekan manusia menjadikan dirinya sebagai penentu arah sejarahnya sendiri—self determination dan self affirmation. Dengan demikian, ia akan memutuskan hubungannya dengan Tuhan dan mengubur unsur-unsur matafisik seperti dosa, neraka, surga, dan konsep-konsep lain yang tak masuk akal. Setelah segala hal yang berhubungan dengan nilai-nilai mitos dan spirit ketuhanan dibuang, maka ia akan menentukan sendiri kriteria-kriteria dan nilai-nilai untuk perkembangan dirinya sendiri sebagai subjek yang merdeka, otonom. Keterputusan dari nilai-nilai dan spirit yang lama telah memungkinkan manusia untuk hidup di dunia baru, dunia modern. Sebuah dunia yang didefinisikan oleh Hegel sebagai dunia dimana ide universal tentang emansipasi progresif, rasio dan kebebasan mendapatkan tempat istimewanya. Bagi Hegel, manusia sebagai subjek harus menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya. Manusia modern tidak memerlukan landasan nilai, kebebasan dan legitimasi kebenaran selain yang berasal dari dalam dan untuk dirinya sendiri. Landasan tersebut adalah akal budi. Manusia sebagai subjek akan selalu “bergerak ke depan”, dia akan selalu mengacu pada ‘kebenaran ideal,’ sementara kebenaran ideal itu sendiri tetap dalam proses “becoming.” Proses bergerak ke dapan menuju kebenaran ideal inilah yang disebut “kemajuan,” progresifitas. Manusia modern selalu ingin jadi yang paling prograsif, paling di depan, paling di atas. Secara konseptual, ini adalah hal yang ideal dan luhur, tapi sesampainya di lapangan yang acapkali terjadi malah penindasan sesama manusia dan pemerkosaan alam .(Noris, 2003: 8). Konsep Hegel ini semakin menemukan bentuk ketika August Comte menjadikan teori evolusi Hegel ini menjadi ilmu sosial posivistik. Secara singkat, teori evolusi mengasumsikan bahwa masyarakat berubah secara linier atau seperti garis lurus, dari masyarakat primitif ke masyarakat maju melalui proses yang panjang (evolusi). Menurut teori ini, yang disebut sebagai masyarajat maju adalah dunia modern yang merupakan bentuk tujuan suatu masyarakat yang bernilai ‘baik’ dan ‘sempurna.’ Atas dsar ini pulalah, masyarakat sederhana, atau pandangan mengenai konservatisme traadisionalisme adalah masalah. Teori ini memberikan pengaruh besar bagi para konseptor teori modernisasi seperti Rostow, Mc Clelland, serta Inkeles di kemudian hari. Hanya saja, jika teori evolusi menganut paham bahwa perubahan masyarakat terjadi dalam waktu lama, bagi penganut teori modernisasi dan pembangunan proses perubahan tersebut dipercepat dengan pendekatan revolusi melalui pelbagai intervensi. Bagi Comte, intervensi manusia sangat menentukan perkembangan fase-fase evolusi tersebut. Pandangan ini yang menjadi pijakan bahwa proses modernisasi bisa direkayasa. Pengetahuan ilmiah dapat direncanakan, yang oleh pengikut mereka sering disebut dengan rekayasa sosial (social-engineering), suatu proses yang oleh Herbert Spencer disebut sebagai ‘Social Darwinisme.’ Aplikasi teori ini sangat mempengaruhi pemikiran modern tentang pembangunan dan bahkan sendi dasar dari paham globalisasi dikemudian hari, bahwa masyarakat bergerak dari masyarakat miskin non-industri sebagai masyarakat primitif berevolusi ke masyarakat industri yang lebih kompleks dan berbudaya (Fakih, 2003: 49).

Penekanan akan kesubjekan manusia yang dengan demikian sebagai penulis atas sejarahnya sendiri menjadikan manusia sebagai ‘penguasa.’ Sebagai penguasa, jelas ia memiliki legitimasi, termasuk melakukan jugment atas apa yang benar dan salah, baik dan buruk sesuai dengan kerja rasional otak. Hal ini bisa kita lihat dari hasil dari Renaisans sendiri. Revolusi Industri turut menciptakan kapitalisme Barat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi—dalam kasus ini Revolusi Industri di negera-negara Barat—memungkinkan produksi secara besar-basaran barang-barang kebutuhan manusia, memberikan kemudahan mobilitas, namun juga mendorong manusia menjadi rakus. Sejarah telah menunjukkan bahwa kelahiran kolonialisme di negara-negara dunia ketiga tak bisa dilepaskan dari Revolusi Industri di negara-negara Eropa. Dengan demikian, tak salah kiranya dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dijadikan sarana dalam mewujudkan mimpi-mimpi utopis manusia modern akan kekuasaan. Bahkan ketika periode kolonialisme berakhir, dan digantikan oleh kolonialisme bentuk baru—melalui penyebaran paham kapitalisme dsn prmbsngunsanisme, penanaman modal asing dengan dalih alih teknologi, dan lain-lain—namun penindasan, baik terhadap masyarakat dunia ketiga maupun alam terus berlanjut, bahkan semakin masif.

Antroposentrisme yang telah mengubur nilai-nilai metafisik dan menggantinya dengan hal-hal yang mewujud dan rasional semakin menemukan bentuknya dalam konsep kapitalisme Barat yang dilahirkan dari rahim humanisme. Nilai materi semakin dijunjung tinggi dan kebebasan (liberalisme) menjadi jalan untuk meraih materi (baca: profit). Ya, liberalisme—melalui prinsip self determination, memberikan legitimasi bagi manusia untuk mengutamakan ego. Ketika ego telah bicara, maka yang kemudian bermain hanyalah kepentingan. Kepentingan untuk berkuasa. Mies (dalam Mies, 2005:260) menafsirka konsepsi Hegel tentang self (diri sendiri) hanya dapat memperoleh kesadaran akan dirinya sendiri jika berhadapan dengan kesadaran, sebagai objek eksternal. Pada saat yang bersamaan objek itu juga menjadi objek dari keinginan. Ego (self conciousness) mencoba untuk “melebur” dengan yang lainnya, yaitu objek, lewat penghancuran objek itu. Pemuasan atas keinginan berakibat pada kehancuran kebebasan ‘orang lain,’ ego menyadari mempunyai kesadaran atas dirinya sendiri sebagai makhluk di dunia.

Ketika Ego Berbicara

Tak ada yang menyangkal bahwa modernisasi telah banyak memberikan banyak hal bagi manusia. Kemajuan melahirkan kesejahteraan, rasio melahirkan sains dan teknologi dan kebebasan melahirkan demokrasi. Tapi ”cucu” dari ketiga hal tadilah yang negatif, yaitu eksploitasi, sainstasi dan imperialisme politik dan budaya (Norris, 2003: 8). Eksploitasi yang merupakan dampak negatif dari modernisme tidak saja menyelegalkan praktik-praktik perbudakan—baik melalui kolonialisme maupun praktik kapitalisme di nagara-negara industri di Barat, tapi juga berujung pada terjadinya krisis ekologi. Sementara saintasipun tak kurang telah memberikan dampak buruk. Seorang Einstein sendiri pernah menyesal dan sangat prihatin ketika hasil penemuannya ternyata digunakan untuk tujuan buruk—pembuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Ya, barangkali dua Perang Dunia yang pernah terjadi di masa lalu menjadi contoh nyata tentang efek negatif dari modernisasi.Sampai hari inipun dampak buruknya masih dapat kita rasakan—tapi entah apakah juga kita sesali(?). Berakhirnya Perang Dunia Kedua misalnya, telah turut menghapus kolonialisme dan memunculkan negara-negara baru. Namun di sisi lain, banyak negara-negara baru yang telah lepas dari belenggu kolonialisme tersebut pada akhirnya juga masuk ke parangkap kapitalisme Barat, sebuah model baru penjajahan yang legal melalui konsumsi ide-ide kapitalisme-liberalisme melalui konsep-konsep ideal pembangunanisme.

Peter Berger telah mendeskripsikan pembangunan sebagai ‘penyebaran munculnya ketunawismaan’ (Berger dalam Mies, 119). Lahirnya ketunawismaan terjadi baik melalui perusakan ekologis terhadap ‘rumah’ maupun penggusuran rakyat baik secara kultural dna spiritual dari rumah mereka. Kata ‘ekologi’ berasal dri oikos, rumah tangga—dan perusakan ekologis dalam intinya adalah perusakan bhum sebagai rumah tangga spiritual dan ekologis. Dengan mengkategorikan Cartesian pada wilayah dalam pergantian bagi kategori yang disucikan, maka memungkinkan bagi teknokrat pembangunan dan agen pembangunan untuk memperluas sepak terjang mereka ke dalam manajemen ‘perpindahan paksa dalam proyek pembangunan’ (Mies, 2005: 119). Dunia modern yang oleh penganut teoir evolusi dimaknai sebagai membuang tradisi sebab menurut mereka ‘masyarakat tradisional’ adalah bentuk yang ‘belum sempurna’—seperti halnya dalam Teori Evolusi Darwin—dan akan terus mengalami perubahan ketika ia telah memasuki dunia modern. Imperalisme budaya semacam ini yang telah malanda negar-negara Dunia Ketiga telah menyebabkan masyarakat tradisional mengalami ketercerabutan. Masyarakat tradisional terancam kehilangan nilai-nilai spiritual mereka. Pengaruh kapitalisme dan liberalisme telah malahirkan konsep privatisasi dan komoditi produksi demi keuntungan semata. Konsep yang mendewakan materi ini tentu saja telah mengubah konsep alam yang bagi masyarakat tradisional memiliki nilai spiritual yang disakralkan, hanya dimaknai sebagai komoditi—berharga jika memberikan provit. Konsep semacam inilah yang kemudian berujung pada terjadinya ekploitasi alam dan kerusakan ekologis—sebab hilangnya penghargaan manusia terhadap alam, disebabkan jugment antroposentris modern.

Ide-ide kapitalisme dan liberalime yang sangat egosentris ini di jabarkan oleh John Locke melalui konsep tentang property. Risalah Locke mengenai property secara efektif membenarkan terjadinya proses pencurian dan perampokan yang juga terjadi semasa akhir pergolakan di Eropa. Locke secara jelas mengartikulasikan ‘kebebasan ala kapitalisme’ adalah kebebasan untuk mencuri; ia menyertakan bahwa property dihasilakan dengan merubah sumber-sumber yang berasal dari alam lewat kerja. Tetapi ‘kerja’ ini bukanlah kerja secara fisik, tetapi dalam makna ‘kerja spiritual’ sebagaimana termanifestasikan dalam kontrol kapital. Menurut Locke, hanya kapital yang dapat menambah nilai terhadap penguasaan alam, dan oleh karena itu hanya mereka yang memiliki kapital sendirilah yang memiliki hak untuk menguasai sumber daya alam; sebuah hak yang menggenatikan hak milik orang lain secara umum hanya dengan mengajukan klaim. Maka kemudian kapital didefinisikan sebagai sumber kebebasan, tetapi kebebasan ini berdasarkan terhadap penolakan terhadap hak atas tanah, hutan, sungai dan biodiversity yang oleh kapital diklaim sebagai milik mereka sendiri. Karena ‘property’ yang pada umumnya dicapai lewat privatisasi disamakan dengan kebebasan, maka rakyat pada umumnya meletakkan klaim ini sebagai perasaan tercerabut dari kebebasan kepemilikan kapital. Maka petani dan masyarakat adat yang menuntut pengembalian hak dan akses mereka terhadap alam dianggap sebagai pencuri (Shiva, 2005: 281-282). Inilah yang terjadi ketika ego yang jahat dilegalkan (oleh negara) melalui pembangunanisme. Dalam kacamata kapitalis, hal ini adalah sesuatu yang biasa, sebab dunia ini adalah arena pertarungan, dan pemenanglah yang akan memegang kendali, memiliki kekuasaan, legitimasi dan menjadikan penindasan sebagai ‘sesuatu hal yang alami.’ Sekali lagi, ketika ego telah bersatu dengan subjektivitas manusia, maka ia akan menjadi kekuatan yang destruktif.

Mengalahkan ‘ego’ dan ‘antroposentrisme’

Kerusakan ekologis harus diakui merupakan ‘hasil’ dari mimpi-mimpi utopis masa depan tentang dunia modern. Hanya saja, sangat ironis sebab konsep subjektivitas manusia menyatakan bahwa manusia dapat menentukan arah sejarahnya sendiri, namun dunia modern yang tercipta saat ini justru sebuah dunia yang berada diluar kontrol manusia.

Pada mula dunia modern diciptakan, ia menjadi mahakarya yang sangat mengagumkan dengan berbagai macam penemuan yang dihasilkan. Tentu saja kitapun tak akan menutup mata atas segala pencapaian positif modernisasi. Tapi kitapun tak bisa mengelak dari hal-hal negatif yang ditimbulkannya. Eksploitasi, tentu inilah yang paling kita rasakan saat ini. Sebagai hasilnya adalah kerusakan ekologis.

Keserakahan manusia telah menghasilkan banyaknya bencana. Semuanya dipicu oleh kerusakan ekologis yang terjadi karena antroposentrisme dan egosentrisme. Wacana global warming seharusnya menyadarkan kita untuk tidak berlaku semena-mena terhadap alam/ lingkungan. Kuncinya adalah mengubah cara berpikir kita selama ini yang antroposentris dan egois. Antroposentrisme telah membuat manusia merasa sebagai penguasa karena memiliki legitimasi untuk melakukan klaim, termasuk klaim tentang bagaiman seharusnya memperlakukan alam/lingkungan. Sementara egosentrisme telah membuat si subjek (yakni manusia) menghancurkan objek. Sehingga yang ia tahu dan pedulikan hanyalah kepentingan dan bila kepentingan itu berpadu dengan materialisme, maka ia akan diterjemahkan menjadi keuntungan (profit). Jadi, jika kita akan mengatasi kerusakan lingkungan, pertanyaan yang harus kita jawab adalah: mampukah kita mengalahkan ego kita?

Daftar Pustaka

Adian, Donny Gahral. 2002. Percik Pemikiran Kontemporer. Jalasutra: Yogyakarta

Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia: Jakarta

Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Pustaka Pelajar dan Insist Press: Yogyakarta

Piliang, Yasraf Amir. 2003.Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Tentang Matinya Makna. Jalasutra: Yogyakarta

Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Ar Ruzz: Yogyakarta

Shiva, Vandana, dkk. 2005. Ecofeminism Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkunagan. IRE Press: Yogyakarta

BASIS, Maret 1991

Rabu, 13 Februari 2008

Mr and Ms Phe Myu Lung

boleh jadi istilah Pemanasan global ato istilah kerennya Global Warming cuma jadi trend. orang jadi nggak keren kalo nggak tahu and ga berekasi ma issue ini.
ambil contoh ketika kita masih sekolah, SD,SMP, SMU, pernahkah kita ngeh ma isu ini?
Ya taruhlah saya yang ga ngeh and peduli bgt ma isu ini. bahkan bagi saya aktivis lingkungan semacam Green PEace adalah aktivis yang ga tahu kerjaan, ga mutu dan hanya kumpulan aktivis anak2 orang kaya.
waktu itu saya yang masih SD--saya kenal Organisasi Green peace lewat novel, berpikir bahawa aktivistas green peace useless, cuma untuk buang2 duit. mending Bapakku yang jadi aktivis golkar, jelas hasilnya. karir menanjak.
hehehehe..oportunis kecil.

tapi emang begitulah.

tiba2 saja artis, pejabat rame2 pada ngomongin global warming. bahkan IBu Ani Yudhonoyono semangat bgt ikut berkampanye Pemanasan Global setelah ada Pertemuan serius PBB di bali athun lalu yang membahas kasus ini. sebelum pertemuan tersebut jangan ngimpi kita bakal ngeliat semua orang "mendadak" jadi aktivis lingkungan. saking semangatnya Bu Ani mengambil momen yang kurang tepat. Hari AIDS sedunia kandas di Indonesia. iklannya "gerakan perempuan tanam sejuta pohon" saja dah cukup "menampar" Hari yang berarti bgt bagi ODHA atopun bagi semua orang indoensia yang paham dan peduli dengan bahayanya.
tampaknya politik citra dengan isu ini makin menjual saja. apalagi dana untuk program tersebut ga hanya segelo. yang cukup mengherankan kenapa kok nggak ngambil momen hari ibu saja Tho bu?

kalo orang-orang tersebut, termasuk saya, jadi "latah" dengan isu ini, ada satu komunitas yang nggak asal "latah". mereka konsern pada gerakan ini sejak lama. bahkan kekonsernan mereka ini kerap kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat. nggak heran kalo komunitas mereka biasanya hidup terpisah dengan masyarakat dimana mereka tinggal.

mereka adalah komunitas Pemulung.
sadar nggak sadar--tapi banyakan nggak sadarnya, mereka adalah penyumbang terbesar pada gerakan ini. dari proses pencarian sampah, pemilahan sampah, pendaurulangan samaph. mereka cukup konsern. bayangin aja gimana kalo kota2 sampah, semacem Bandung ada di seluruh indonesia kerna nggak ada pemulung? berabe lah.

hmmm..banyak hal yang bisa dan mau digali tenatng komunitas pemulung.
namun apa daya waktu tak sampai.
laen kali kusambung lagi ahhh....
sapa tahu bisa jadi Trilogi Pemulung di blog ini, macem kayak Triliginya Lord Of the ring , ato tetraloginya Pram..heheheheheh

Well, pemulung adalah pahlawan kita.
tanpa pemulung YOgya nggak kebayang panasnya kayak apa!

Selasa, 12 Februari 2008

sebuah refleksi









Di atas tanah lembab kaki ini berpijak. Mencoba membuka memori dulu dan kini. Fajar yang begitu dirindu, tak lagi menampakkan keindahan siluet mentari yang muncul dari balik rerimbunan pohon di kaki gunung. Pohon-pohon itu kini telah berganti menjadi bangunan besar dengan puluhan pekerja. Lengkap dengan desah gergaji mesin di sana-sini. Menderu. Memekakkan telinga.

Sampai diri tak mampu dan tak mau mendengar. Terpisah dari kenyataan, tenggelam dalam kemayaan. Lamunan yang terbang jauh. Suara burung-burung bercakap, mengeejek satu sama lain, berteriak, mengaduh,,, sambil bertengger, meloncat diantara ranting pohon. Bias itu lenyap. Senyap. Hening. Menyisakan alunan gergaji mesin yang mendesak-desak otak untuk kembali pada kenyataan, seolah mereka pongah berkata “sekarang aku yang berkuasa”.

Ada kehilangan yang begitu terasa yang takkan lagi ditemui selain di tempat ini. Uap udara ketika menarik atau pun menghembus nafas, menjadi teramat langka. Meski ketika itulah saat yang dinanti, berhambur keluar rumah ketika mentari masih enggan muncul, menghirup dan menghembus nafas pelan-pelan. Menciptakan sebuah terapi agar jiwa ini kembali segar. Dan lagi, mantel tebal yang biasa digunakan sudah lama ditanggalkan. Menyesaki lemari gantung saja.

Dalam jiwa nan pelik. Keinginan kecil ini hanya mampu terpendam dan menjadi lagu pengharapan.

(pictures taken from: www.canr.uconn.edu & archive.wn.com)

Senin, 11 Februari 2008

Global Warming : Semoga Tidak Hanya Sekedar Latah

Selama ini bisa jadi kita terkungkung dengan budaya dan pola pikir instan, semua serba cepat. Multitasking man, representatif sebagai sebutan manusia modern. Dasein-meminjam istilah Heidegger-atau diri manusia dibebani oleh beraneka tuntutan tugas dalam ruang-waktu yang nyaris tak berjeda. Alhasil, amunisi (input) yang dimamah bisa jadi hanya berupa ‘junkfood’. Seperti halnya ketika memotret fenomena fluktuasi isu atau diskursus yang beredar di masyarakat. Masing-masing wacana timbul tenggelam, bersahut-sahutan, bahkan sering tanpa mampu ditangkap adanya keselarasan nada yang berjejak. Global Warming (pemanasan global) yang tengah ‘hot’ menjadi isu publik beberapa bulan ini juga mengalami nasib terbilang serupa yang yakni masuk jajaran wacana nan fluktuatif. Wacana ini mulai akan naik ke permukaan ketika mendekati ‘deadline’ Hari Bumi tanggal 22 April. Tanggal itulah yang menjadi puncak isu dan dirayakan dengan banyak macam kegiatan/program. Pasca hari besar itu lewat, maka segera saja aroma keprihatinan tentang pemanasan global berlalu, digantikan dengan ‘tayangan’ selanjutnya, entah hari apa, kemungkinan besar Hari Buruh yang akan jatuh pada tanggal 1 Mei. Berarti pula, di saat kekhusyukan dalam berefleksi tentang global warming belum lagi tandas, segera ditindih dengan isu dan perenungan baru yang menuntut manusia untuk turut berkontribusi. Padahal masing-masing isu memiliki esensi pengetahuan yang berbeda dan khas, sehingga tidak bisa seenaknya untuk direngkuh kemana-mana. Ketika kita tidak tahu menahu tentang sesuatu, bagaimana bisa menjelaskan pada orang lain, apalagi sampai pada tataran praksis. Alih-alih berkontribusi kongkrit, malah jadi hipokrit. Besar kemungkinan, kondisi inilah yang menyebabkan berbagai wacana seperti global warming yang sejatinya benar-benar penting, faktanya hanya menjadi perayaan seremonial tahunan. Minimal mampu mengingatkan manusia untuk duduk sejenak merenungi apa yang telah dilakukan selama setahun terakhir yang membawa bumi ini ‘sesak nafas’ stadium kronis.
Suka tidak suka, wajib diakui bahwa global warming adalah isu yang elitis dan tersegmentasi bagi masyarakat borjuis-bahasa lain untuk kalangan menengah ke atas. Masyarakat bawah tidak banyak yang paham tentang efek rumah kaca, terdengar familiar di telinga saja tidak. Bahkan jika ditelaah, belum tentu pula di kalangan borjuis itu, isu global warming sudah cukup mendapat tempat yang layak untuk dipedulikan. Pemanasan global adalah isu yang berat sebab logika ilmiahnya dihamparkan dalam suatu ruang-waktu yang evolutif sehingga tidak bisa dirasakan implikasi negatifnya dalam rentang masa yang pendek. Hal ini didukung pula oleh kultur instant dari masyarakat modern yang memaksimalkan egosentris dibandingkan kepentingan publik. Persaingan/kompetisi nan keras mempengaruhi pola pikir manusia untuk senantiasa mengamankan kapling sosialnya dari serbuan manusia lain untuk meraih eksistensi. Hanya tersisa sedikit tempat untuk berpikir hal lain, itu pun bisa jadi tetap diberdayakan untuk disedot dalam produksi-produksi yang beraroma ekonomis. Kondisi ini melanda sebagian besar kerumunan manusia di tiap level masyarakat, meski berbeda dalam banyak sektor. Manusia makin teralienasi dari konteks sosialnya serta begitu hobi menandaskan kepentingan pribadi tanpa merasa cukup bertanggung jawab kepada lingkungan yang menjadi tempat hunian bersama. Wow, pekerjaan besar ha ? bahkan belum memungkinkan untuk masuk ke level implementasi pereduksian global warming. Perubahan paradigma pun wajib dikampanyekan beriringan. Tetap saja multitasking masih menjadi pilihan utama sebab kondisi masyarakat yang sangat ‘sibuk’ mengakibatkan utopisnya suatu tindakan evolutif yang seolah menuntut melambatnya waktu. Tetap tidak mungkin menghentikan laju global warming, di saat kita ingin lebih dulu membenahi pola pikir masyarakat. Waduh, jadinya mulai dari mana ?

Minggu, 10 Februari 2008

Jelantah tak sebatas limbah

Minyak jelantah atau minyak sisa penggorengan oleh sebagian orang sering digunakan kembali untuk menggoreng. Apalagi dengan naiknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu, minyak jelantah sering kali menjadi solusi untuk menghemat pemakaian minyak goreng. Tindakan pemakaian ulang minyak goreng sisa sebenarnya beresiko teradap kesehatan karena gugus kimia dalam minyak sisa penggorengan telah berubah. Zat kimia beracun dalam minyak jelantah tersebut di antaranya dapat memicu penyakit kanker dan kelainan pembuluh darah. Jadi memang sebaiknya minyak jelantah tidak digunakan lagi untuk menggoreng. Lantas dibuang saja dan selesai perkara? Tidak juga, karena ketika minyak jelantah ini dibuang di perairan (sungai atau selokan misalnya) atau di tanah (dan meresap ke dalam air tanah), zat kimia di dalamnya dapat membahayakan makhluk hidup yang mengkonsumsi air tersebut.
Erliz Hambali, seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), beberapa waktu lalu menemukan sebuah inovasi pemanfaatan minyak jelantah. Minyak jelantah bisa diolahnya menjadi biofuel, campuran bahan bakar kendaraan. Bus Transpakuan yang melayani masyarakat Bogor telah merasakan penemuan Erliza. Bahkan setelah diuji coba dengan komposisi 30 persen minyak jelantah dan 70 persen solar kondisi mesin kendaraan sama sekali tak terganggu. Minyak jelantah sendiri telah memenuhi standar biodiesel dan dapat mengurangi polusi udara. Dan yang terpenting, penggunaan biofuel minyak jelantah sebagai alternatif bahan bakar, lebih ramah lingkungan karena selain memanfaatkan limbah rumah tangga, olahan minyak jelantah ini juga turut meminimalisir penggunaan petroleum dan resiko polusi air dan udara.
Belakangan industri biofuel minyak jelantah mulai banyak dikembangkan, walaupun sebagian baru sebatas industri skala kecil. Bahan baku minyak jelantah didapat dari rumah tangga maupun dari restoran fast food dengan harga cukup murah, yakni Rp. 500,00 per liter. Dengan biaya pengolahan yang relatif murah, harga jual yang dipatok untuk biofuel minyak jelantah per liternya dapat lebih murah daripada solar. Solusi masa depan berupa penggunaan biofuel sebagai substitusi atau pun komplementer bahan bakar petroleum tampaknya perlu digagas dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Energi alternatif yang relatif murah dan ramah lingkungan serta kemandirian masyarakat untuk mengusahakannya tentu saja tidak hanya menjadi solusi bagi krisis energi namun juga krisis perekonomian yang tengah akut melanda Indonesia.

Perdamaian dan Kadar Reflekif dalam Sejarah Tasawuf

Perdamaian menjadi kata yang populer dan didengungkan setiap waktu. Seolah seantero jagad ini begitu merindukan pertemuan dengan masa perdamaian. Saking kerapnya, kata perdamaian terkadang dirasakan hanya sebagai latah yang makin meluruh maknanya. Mengutip penggalan syair lagu “perdamaian” yang digubah ulang oleh Band Gigi, ‘banyak yang cinta damai, namun perang semakin ramai…’, memang perdamaian secara riil baru sampai di tataran angan-angan. Mungkin hal ini telah pula menjadi kegelisahan sejak dulu, Thomas More yang berimajinasi tentang negeri yang damai dan tenteram dalam Utopia, menyemburatkan pesimisme tentang bukti kongkritnya.
Sejarah senantiasa mengajarkan kita banyak hal. Frekuensi paling intensif ketika belajar sejarah adalah bersinggungan dengan konflik dan peperangan. Pasang surutnya peradaban sepertinya ditentukan dengan penghancuran yang lama dan berkuasanya sang penakluk. Siklus peradaban kemudian digerakkan-mayoritas-oleh motivasi penguasaan dan balas dendam. Namun, apakah kemudian sejarah harus dihancurkan ? jelas Milan Hubl bersegera untuk menolaknya lewat ujaran peringatannya yang termasyhur jika ingin menghancurkan suatu masyarakat, maka hancurkanlah sejarahnya, buku-bukunya dan bangunlah sejarah baru. Jika tidak ingin menyaksikan keruntuhan bangsa/masyarakat kita, maka pelihara sejarah untuk tujuan konstruksif. Ujaran ini menyiratkan pula adanya harapan agar generasi saat ini dan yang akan datang mampu secara cerdas mengulik sejarah bukan atas dasar pandangan sempit yang diaromai kepentingan pribadi/kelompok. Kemaslahatan umatlah yang pantas dikedepankan melampaui egoisme parsial.
Ketika kita memandang realita masa kini, harapan Milan Hubl tersebut belum pernah menemui titik singgung dengan muara perdamaian. Sepertinya ada kesalahan dalam memperlajari sejarah. Kadar reflektif yang seyogyanya menjadi perangkat positif bisa jadi dikebiri oleh tangan pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan terwujudnya perdamaian dunia. Seringkali pihak-pihak tersebut menyembul dari kursi-kursi penguasa yang harusnya menjadi panutan. Lalu siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk menjadi pelopor ? dan apakah memang masih ada yang tersisa sebagai tumpuan harapan ?
Mengais Tradisi Perdamaian dari Lubuk Agama : Studi Kasus Ahl Ash Shuffah
Agama di sepanjang masa senantiasa didaulat dan dipercaya sebagai penyuplai tradisi moralitas dan ketenangan. Namun, di sisi lain agama malah menjadi pemantik utama meledakkan konflik dan peperangan. Apalagi jika terlalu berkiblat dan percaya total pada tesis Huntington ataupun para orientalis destruktif, sebab sejarah di tangan mereka lebih diorientasikan pada prasangka kelompok semata yang mengakui adanya superordinat-subordinat dalam masyarakat dunia. Padahal di sisi lain, wajah agama-dalam tulisan ini lebih mengarah ke Islam-memiliki muatan perdamaian dan toleransi yang kental.
Sisi kelembutan dan perdamaian bisa kita temui ketika menggelar sejarah para ahl ash shuffah yang hadir pertama kali di masa madinah pada jaman Rasulullah SAW. Mereka adalah golongan kaum beriman yang sangat merindukan kedalaman relasi intimitas dengan Sang Khalik. Tempat berkumpul untuk melantunkan kecintaan kepadaNya adalah serambi masjid Shuffah. Ahl ash Shuffah di kemudian hari familiar disebut dengan sufi. Meski beragamnya definisi, mulai dari asal kata dari bahasa Arab hingga Yunani, namun secara general ada persamaan dalam memaknai sufi. Sufi sangat identik dengan nilai-nilai kelembutan (al lathif) dan moralitas agama. Islam sendiri diartikan sebagai ketundukkan, kerendahan hati di hadapan Alloh SWT. Para sufi berorientasi kepada kepasrahan terdalam hingga dasar kecintaan yang akan berkerak abadi terhadap Sang Pencipta. Dikarenakan Alloh SWT merupakan Dzat yang Maha Lembut, Maha Penyayang, Maha Pengasih, Maha Pengampun dll berarti hamba yang senantiasa berupaya berdekatan denganNya pastilah kecipratan sifat-sifat yang bersinggungan dengan kondisi nan damai dan penuh ketenangan. Sifat-sifat ini menjadi fondasi awal karakter penuh kedamaian dan kasih sayang ketika bertransaksi dalam konteks sosial secara luas.
Sufi dan Tantangan Peluruhan Esensial
Apa mau dikata, tradisi kedamaian yang diangkat oleh para sufi menghadapi tantangan peradaban. Tak ada gading yang tak retak, goncangan mulai melanda keharmonisan kultur perdamaian. Di masa selanjutnya, ternyata sejarah mencatatkan fakta penting yang menjadi amunisi utama peletupan konflik internal di kalangan sufi sendiri. Pembelahan kategori tasawuf (ajaran sufi) menjadi tasawuf sunni dan falsafi memecah belah kohesivitas sosial di antara para penganutnya. Tasawuf sunni yang berisi para ulama ortodhoks yang menjunjung tradisi gnostik menuding para penganut tasawuf falsafi sebagai sempalan sufi yang sesat dengan paham union mistik-manunggaling kawulo gusti dalam bahasa Jawa. Tercatat Abu Yazid Al Bisthami, Al Hallaj, Ibn Arabi, Rabiah Al Adawiyah, Syekh Siti Jenar, dll harus berhadapan dengan kekuasaan ulama bersenjatakan segepok pengetahuan keagamaan dan fatwa-fatwa untuk melesakkan tradisi sufi falsafi ke titik nadir eksistensi.
Polarisasi aliran tasawuf ini memang sangat tajam. Di satu sisi tasawuf sunni terkadang terlalu dunia dan kehilangan ruh asketisnya. Sementara tasawuf falsafi sendiri cenderung menarik diri dari realita dunia sehingga secara sosial terkadang tidak bisa diterima baik dalam perilaku maupun perkataan. Tasawuf sunni di masa sekarang memang terlihat paling dominant dari sudut legitimasi formal dan kuantitas. Permasalahan kemudian muncul ketika ternyata tasawuf sunni ini mulai mengalami peluruhan dalam tradisi esoteric yang menjadi saripati inti dari tasawuf. Berakrab ria dengan politik praktis bisa dianggap sebagai pengkhianatan paling kentara, contoh nyata kalangan NU maupun Golkar seringkali mempolitisasi tarekat (komunitas sufi) demi menggalang massa dalam rangka pemenangan Pemilu. Padahal ketika para sufi telah memihak suatu kelompok sosial tertentu, maka secara otomatis para sufi juga sedang memisahkan antara kawan-lawan. Para sufi tengah terjun di arena pertarungan politik yang penuh keserakahan, berarti bertolak belakang dengan makna perdamaian yang identik dengan tradisi tasawuf. Kondisi ini secara eksplisit memperlihatkan para sufi modern tidak pernah menengok ulang secara reflektif tentang historisitas tasawuf sedalam-dalamnya.

Selasa, 05 Februari 2008

Mulai dari Selembar Tissue...

Seorang teman yang tengah giat mengkampanyekan anti global warming, pernah memberitahu bahwa aktivitas mengurangi efek rumah kaca bisa dimulai dari tindakan nan ringan seperti meminimalisir konsumsi tissue. Kita semua sangat familiar dengan Tissue, hampir tiap kali selesai bersantap atau ketika berkeringat kegerahan, maka Tissue menjadi pilihan sederhana untuk memecahkan masalah kita. Begitu entengnya kemelekatan kita terhadap benda tersebut berbanding lurus dengan ringannya tindakan kita ketika menggunakannya. Tanpa sempat berpikir darimana asalnya lembaran-lembaran Tissue dibuat, kita mengeksploitasinya demi kepentingan pribadi. Kata teman tersebut, produksi massif Tissue sama saja dengan makin tingginya ancaman terhadap penggundulan hutan. Hal ini kemudian berefek lebih jauh pada hiperakutnya pemanasan global akibat raibnya unsur primer (tanaman/pohon) yang menyerap karbondioksida. Meski tidak cukup mengerti alur logika ilmiahnya, saya tertampar dengan berbagai uraiannya. Bagaimana tidak ? saya adalah pemakai Tissue yang setia, tanpa benda kecil itu maka hari-hari takkan terasa nyaman dan tenang. Menyapih benda itu (totally) akan merubah beberapa pola tindakan yang bakal memunculkan ‘keresahan’ baru. Ketidaknyamanan akan segera menyeruak tatkala konsumsi dibatasi apalagi jika sampai harus dihilangkan sama sekali.

Deskripsi tersebut baru tentang pola konsumsi lembaran Tissue yang senantiasa harus puas masuk kasta terendah sebab pasti akan berubah menjadi sampah pasca dieksploitasi. Di sekitar kita masih banyak bukti berserakan yang memperlihatkan betapa konsumtifnya manusia, begitu tergantungnya pada benda-benda hasil produk modernisasi. Sebut saja AC, mobil/motor, listrik, kertas, plastik, dll. Kesemua produk tersebut sangat familiar dalam keseharian bahkan telah menjadi bagian dari diri kita serta diakui sebagai unsur yang menentukan kelancaran dalam mengarungi hidup. Konsumsi terhadap berbagai barang tersebut akan memperbesar kepekatan dan kuantitas gas-gas yang mengancam eksistensi ozon sebagai pelindung bumi dan pengontrol suhu udara. Jika dibayangkan, tampaknya upaya menyapih praktik konsumsi terhadapnya hanya membentur tembok wacana dan utopis untuk dipraksiskan. Bagaimanapun kemajuan ilmu pengetahuan membawa konsekuensi positif berupa terciptanya benda-benda yang menopang sebagian pekerjaan manusia. Tindakan menyapih praktik eksploitatif terhadap benda-benda itu akan berimplikasi pada pola hidup kita yang mengarah pada ketidakjelasan. Konsumsi terus menerus dan intensif tanpa antisipasi yang terkontrol akan membawa dampak mengerikan di masa mendatang, pelan tapi pasti. Mungkin bukan kita yang akan merasakan keterengah-engahan dalam menghadapi problem yang makin bertumpuk akibat efek rumah kaca, tetapi yang jelas anak cucu kitalah yang harus menanggung akibat yang telah kita lestarikan bersama.