
Di atas tanah lembab kaki ini berpijak. Mencoba membuka memori dulu dan kini. Fajar yang begitu dirindu, tak lagi menampakkan keindahan siluet mentari yang muncul dari balik rerimbunan pohon di kaki gunung. Pohon-pohon itu kini telah berganti menjadi bangunan besar dengan puluhan pekerja. Lengkap dengan desah gergaji mesin di sana-sini. Menderu. Memekakkan telinga.
Sampai diri tak mampu dan tak mau mendengar. Terpisah dari kenyataan, tenggelam dalam kemayaan. Lamunan yang terbang jauh. Suara burung-burung bercakap, mengeejek satu sama lain, berteriak, mengaduh,,, sambil bertengger, meloncat diantara ranting pohon. Bias itu lenyap. Senyap. Hening. Menyisakan alunan gergaji mesin yang mendesak-desak otak untuk kembali pada kenyataan, seolah mereka pongah berkata “sekarang aku yang berkuasa”.
Ada kehilangan yang begitu terasa yang takkan lagi ditemui selain di tempat ini. Uap udara ketika menarik atau pun menghembus nafas, menjadi teramat langka. Meski ketika itulah saat yang dinanti, berhambur keluar rumah ketika mentari masih enggan muncul, menghirup dan menghembus nafas pelan-pelan. Menciptakan sebuah terapi agar jiwa ini kembali segar. Dan lagi, mantel tebal yang biasa digunakan sudah lama ditanggalkan. Menyesaki lemari gantung saja.
Dalam jiwa nan pelik. Keinginan kecil ini hanya mampu terpendam dan menjadi lagu pengharapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar