Minggu, 10 Februari 2008

Perdamaian dan Kadar Reflekif dalam Sejarah Tasawuf

Perdamaian menjadi kata yang populer dan didengungkan setiap waktu. Seolah seantero jagad ini begitu merindukan pertemuan dengan masa perdamaian. Saking kerapnya, kata perdamaian terkadang dirasakan hanya sebagai latah yang makin meluruh maknanya. Mengutip penggalan syair lagu “perdamaian” yang digubah ulang oleh Band Gigi, ‘banyak yang cinta damai, namun perang semakin ramai…’, memang perdamaian secara riil baru sampai di tataran angan-angan. Mungkin hal ini telah pula menjadi kegelisahan sejak dulu, Thomas More yang berimajinasi tentang negeri yang damai dan tenteram dalam Utopia, menyemburatkan pesimisme tentang bukti kongkritnya.
Sejarah senantiasa mengajarkan kita banyak hal. Frekuensi paling intensif ketika belajar sejarah adalah bersinggungan dengan konflik dan peperangan. Pasang surutnya peradaban sepertinya ditentukan dengan penghancuran yang lama dan berkuasanya sang penakluk. Siklus peradaban kemudian digerakkan-mayoritas-oleh motivasi penguasaan dan balas dendam. Namun, apakah kemudian sejarah harus dihancurkan ? jelas Milan Hubl bersegera untuk menolaknya lewat ujaran peringatannya yang termasyhur jika ingin menghancurkan suatu masyarakat, maka hancurkanlah sejarahnya, buku-bukunya dan bangunlah sejarah baru. Jika tidak ingin menyaksikan keruntuhan bangsa/masyarakat kita, maka pelihara sejarah untuk tujuan konstruksif. Ujaran ini menyiratkan pula adanya harapan agar generasi saat ini dan yang akan datang mampu secara cerdas mengulik sejarah bukan atas dasar pandangan sempit yang diaromai kepentingan pribadi/kelompok. Kemaslahatan umatlah yang pantas dikedepankan melampaui egoisme parsial.
Ketika kita memandang realita masa kini, harapan Milan Hubl tersebut belum pernah menemui titik singgung dengan muara perdamaian. Sepertinya ada kesalahan dalam memperlajari sejarah. Kadar reflektif yang seyogyanya menjadi perangkat positif bisa jadi dikebiri oleh tangan pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan terwujudnya perdamaian dunia. Seringkali pihak-pihak tersebut menyembul dari kursi-kursi penguasa yang harusnya menjadi panutan. Lalu siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk menjadi pelopor ? dan apakah memang masih ada yang tersisa sebagai tumpuan harapan ?
Mengais Tradisi Perdamaian dari Lubuk Agama : Studi Kasus Ahl Ash Shuffah
Agama di sepanjang masa senantiasa didaulat dan dipercaya sebagai penyuplai tradisi moralitas dan ketenangan. Namun, di sisi lain agama malah menjadi pemantik utama meledakkan konflik dan peperangan. Apalagi jika terlalu berkiblat dan percaya total pada tesis Huntington ataupun para orientalis destruktif, sebab sejarah di tangan mereka lebih diorientasikan pada prasangka kelompok semata yang mengakui adanya superordinat-subordinat dalam masyarakat dunia. Padahal di sisi lain, wajah agama-dalam tulisan ini lebih mengarah ke Islam-memiliki muatan perdamaian dan toleransi yang kental.
Sisi kelembutan dan perdamaian bisa kita temui ketika menggelar sejarah para ahl ash shuffah yang hadir pertama kali di masa madinah pada jaman Rasulullah SAW. Mereka adalah golongan kaum beriman yang sangat merindukan kedalaman relasi intimitas dengan Sang Khalik. Tempat berkumpul untuk melantunkan kecintaan kepadaNya adalah serambi masjid Shuffah. Ahl ash Shuffah di kemudian hari familiar disebut dengan sufi. Meski beragamnya definisi, mulai dari asal kata dari bahasa Arab hingga Yunani, namun secara general ada persamaan dalam memaknai sufi. Sufi sangat identik dengan nilai-nilai kelembutan (al lathif) dan moralitas agama. Islam sendiri diartikan sebagai ketundukkan, kerendahan hati di hadapan Alloh SWT. Para sufi berorientasi kepada kepasrahan terdalam hingga dasar kecintaan yang akan berkerak abadi terhadap Sang Pencipta. Dikarenakan Alloh SWT merupakan Dzat yang Maha Lembut, Maha Penyayang, Maha Pengasih, Maha Pengampun dll berarti hamba yang senantiasa berupaya berdekatan denganNya pastilah kecipratan sifat-sifat yang bersinggungan dengan kondisi nan damai dan penuh ketenangan. Sifat-sifat ini menjadi fondasi awal karakter penuh kedamaian dan kasih sayang ketika bertransaksi dalam konteks sosial secara luas.
Sufi dan Tantangan Peluruhan Esensial
Apa mau dikata, tradisi kedamaian yang diangkat oleh para sufi menghadapi tantangan peradaban. Tak ada gading yang tak retak, goncangan mulai melanda keharmonisan kultur perdamaian. Di masa selanjutnya, ternyata sejarah mencatatkan fakta penting yang menjadi amunisi utama peletupan konflik internal di kalangan sufi sendiri. Pembelahan kategori tasawuf (ajaran sufi) menjadi tasawuf sunni dan falsafi memecah belah kohesivitas sosial di antara para penganutnya. Tasawuf sunni yang berisi para ulama ortodhoks yang menjunjung tradisi gnostik menuding para penganut tasawuf falsafi sebagai sempalan sufi yang sesat dengan paham union mistik-manunggaling kawulo gusti dalam bahasa Jawa. Tercatat Abu Yazid Al Bisthami, Al Hallaj, Ibn Arabi, Rabiah Al Adawiyah, Syekh Siti Jenar, dll harus berhadapan dengan kekuasaan ulama bersenjatakan segepok pengetahuan keagamaan dan fatwa-fatwa untuk melesakkan tradisi sufi falsafi ke titik nadir eksistensi.
Polarisasi aliran tasawuf ini memang sangat tajam. Di satu sisi tasawuf sunni terkadang terlalu dunia dan kehilangan ruh asketisnya. Sementara tasawuf falsafi sendiri cenderung menarik diri dari realita dunia sehingga secara sosial terkadang tidak bisa diterima baik dalam perilaku maupun perkataan. Tasawuf sunni di masa sekarang memang terlihat paling dominant dari sudut legitimasi formal dan kuantitas. Permasalahan kemudian muncul ketika ternyata tasawuf sunni ini mulai mengalami peluruhan dalam tradisi esoteric yang menjadi saripati inti dari tasawuf. Berakrab ria dengan politik praktis bisa dianggap sebagai pengkhianatan paling kentara, contoh nyata kalangan NU maupun Golkar seringkali mempolitisasi tarekat (komunitas sufi) demi menggalang massa dalam rangka pemenangan Pemilu. Padahal ketika para sufi telah memihak suatu kelompok sosial tertentu, maka secara otomatis para sufi juga sedang memisahkan antara kawan-lawan. Para sufi tengah terjun di arena pertarungan politik yang penuh keserakahan, berarti bertolak belakang dengan makna perdamaian yang identik dengan tradisi tasawuf. Kondisi ini secara eksplisit memperlihatkan para sufi modern tidak pernah menengok ulang secara reflektif tentang historisitas tasawuf sedalam-dalamnya.

Tidak ada komentar: