Senin, 11 Februari 2008

Global Warming : Semoga Tidak Hanya Sekedar Latah

Selama ini bisa jadi kita terkungkung dengan budaya dan pola pikir instan, semua serba cepat. Multitasking man, representatif sebagai sebutan manusia modern. Dasein-meminjam istilah Heidegger-atau diri manusia dibebani oleh beraneka tuntutan tugas dalam ruang-waktu yang nyaris tak berjeda. Alhasil, amunisi (input) yang dimamah bisa jadi hanya berupa ‘junkfood’. Seperti halnya ketika memotret fenomena fluktuasi isu atau diskursus yang beredar di masyarakat. Masing-masing wacana timbul tenggelam, bersahut-sahutan, bahkan sering tanpa mampu ditangkap adanya keselarasan nada yang berjejak. Global Warming (pemanasan global) yang tengah ‘hot’ menjadi isu publik beberapa bulan ini juga mengalami nasib terbilang serupa yang yakni masuk jajaran wacana nan fluktuatif. Wacana ini mulai akan naik ke permukaan ketika mendekati ‘deadline’ Hari Bumi tanggal 22 April. Tanggal itulah yang menjadi puncak isu dan dirayakan dengan banyak macam kegiatan/program. Pasca hari besar itu lewat, maka segera saja aroma keprihatinan tentang pemanasan global berlalu, digantikan dengan ‘tayangan’ selanjutnya, entah hari apa, kemungkinan besar Hari Buruh yang akan jatuh pada tanggal 1 Mei. Berarti pula, di saat kekhusyukan dalam berefleksi tentang global warming belum lagi tandas, segera ditindih dengan isu dan perenungan baru yang menuntut manusia untuk turut berkontribusi. Padahal masing-masing isu memiliki esensi pengetahuan yang berbeda dan khas, sehingga tidak bisa seenaknya untuk direngkuh kemana-mana. Ketika kita tidak tahu menahu tentang sesuatu, bagaimana bisa menjelaskan pada orang lain, apalagi sampai pada tataran praksis. Alih-alih berkontribusi kongkrit, malah jadi hipokrit. Besar kemungkinan, kondisi inilah yang menyebabkan berbagai wacana seperti global warming yang sejatinya benar-benar penting, faktanya hanya menjadi perayaan seremonial tahunan. Minimal mampu mengingatkan manusia untuk duduk sejenak merenungi apa yang telah dilakukan selama setahun terakhir yang membawa bumi ini ‘sesak nafas’ stadium kronis.
Suka tidak suka, wajib diakui bahwa global warming adalah isu yang elitis dan tersegmentasi bagi masyarakat borjuis-bahasa lain untuk kalangan menengah ke atas. Masyarakat bawah tidak banyak yang paham tentang efek rumah kaca, terdengar familiar di telinga saja tidak. Bahkan jika ditelaah, belum tentu pula di kalangan borjuis itu, isu global warming sudah cukup mendapat tempat yang layak untuk dipedulikan. Pemanasan global adalah isu yang berat sebab logika ilmiahnya dihamparkan dalam suatu ruang-waktu yang evolutif sehingga tidak bisa dirasakan implikasi negatifnya dalam rentang masa yang pendek. Hal ini didukung pula oleh kultur instant dari masyarakat modern yang memaksimalkan egosentris dibandingkan kepentingan publik. Persaingan/kompetisi nan keras mempengaruhi pola pikir manusia untuk senantiasa mengamankan kapling sosialnya dari serbuan manusia lain untuk meraih eksistensi. Hanya tersisa sedikit tempat untuk berpikir hal lain, itu pun bisa jadi tetap diberdayakan untuk disedot dalam produksi-produksi yang beraroma ekonomis. Kondisi ini melanda sebagian besar kerumunan manusia di tiap level masyarakat, meski berbeda dalam banyak sektor. Manusia makin teralienasi dari konteks sosialnya serta begitu hobi menandaskan kepentingan pribadi tanpa merasa cukup bertanggung jawab kepada lingkungan yang menjadi tempat hunian bersama. Wow, pekerjaan besar ha ? bahkan belum memungkinkan untuk masuk ke level implementasi pereduksian global warming. Perubahan paradigma pun wajib dikampanyekan beriringan. Tetap saja multitasking masih menjadi pilihan utama sebab kondisi masyarakat yang sangat ‘sibuk’ mengakibatkan utopisnya suatu tindakan evolutif yang seolah menuntut melambatnya waktu. Tetap tidak mungkin menghentikan laju global warming, di saat kita ingin lebih dulu membenahi pola pikir masyarakat. Waduh, jadinya mulai dari mana ?

Tidak ada komentar: